Your Ad Here

Cari by Google

8.9.10

Belanda Depok !! Siapa kah Mereka ??


Belanda Depok. Siapa yang tak akrab dengan sebutan itu. Terkadang sebutan itu selalu digunakan masyarakat Jabodetabek dan sekitarnya, untuk meledek orang-orang yang sok kebule-bulean.

Banyak cerita dan peninggalan yang diwariskan negara itu pasca penjajahan di Jawa yang telah berusia 250 tahun. Salah satunya, keberadaan keturunan 12 marga bekas budak yang dibebaskan saudagar tanah Belanda, Cornelis Chastelein. Mereka bermukim di kawasan Depok Lama, Bogor, Jawa Barat, dan kerap disebut Belanda Depok.

Siapa sangka jika Belanda Depok memang benar ada, bahkan beranak-pinak. Namun jangan sangka, kaum Belanda Depok dan turunannya ini tidaklah berambut pirang, berkulit putih, serta bermata biru, seperti layaknya bangsa Belanda. Justru sebaliknya, yang disebut Belanda Depok ini berperawakan yang tidak jauh dari perawakan orang pribumi.

Lalu bagaimana asal muasalnya? Berikut kami tuturkan.

Pada abad ke-16, saat Indonesia masih dijajah oleh Belanda, hiduplah seorang tuan tanah bernama Cornelis Chastelein yang mendiami dan membeli sebuah wilayah pertanian dan perkebunan bernama Depok. Cornelis kemudian menjadi Presiden di wilayah yang luasnya ribuan hektare itu.


Karena tak sanggup merawat tanahnya yang begitu luas, dia kemudian mengambil dan mempekerjakan budak-budak yang umumnya berasal dari Indonesia bagian timur, seperti Bali, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa, Pulau Rote serta Filipina. Setidaknya terdapat 200 budak dipekerjakannya.

Tak selayaknya tuan tanah lainnya di masa itu, Cornelis memperlakukan para budaknya dengan sangat manusiawi. Budak-budak tersebut dirawat, diberikan pendidikan, serta diperkenalkan agama Kristen Protestan lewat sebuah Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen, disingkat Depok. Dari sinilah nama kota ini berasal.


Karena terlihat adanya kesetaraan dengan majikannya, tak pelak masyarakat yang hidup di sekitar perkebunan menyebut para budak itu Belanda Depok.

Suatu saat, Cornelis Chastelein meninggal dunia pada tanggal 28 Juni 1714 karena sakit. Cornelis pun mewariskan perkebunannya pada para budaknya yang telah dibebaskannya. Berikut isi wasiatnya.

“...Maka hoetang jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe... dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,...”

Kemudian ratusan budak tersebut kemudian dikelompokan menjadi 12 fam atau marga dan mewarisi surat wasiat dari Cornelis untuk merawat perkebunan tersebut. Belasan marga tersebut yaitu Laurenz, Loen, Leander, Jonathans, Toseph, Yakob, Sudira, Samuel, Zadoch, Isac, Bakas dan Tholence.

Di antara mereka, sepertiganya adalah keturunan asli Belanda yang menikah dengan orang Indonesia atau keluarga Belanda yang lebih senang tinggal di Indonesia. Sebutan Belanda Depok sebetulnya hanya label belaka bagi orang pribumi yang mendapatkan keistimewaan dari pemerintah Belanda kala itu.

Tapi, menurut sesepuh Belanda Depok, Antonio Loen, keistimewaan itu justru memicu kecemburuan warga lain. Mereka pun kerap dituding sebagai ‘antek’ sewaktu Belanda masih menduduki Indonesia. Bahkan, kebudayaan Belanda dan perayaan hari kelahiran Cornelis Chastelein ikut dilarang.

“Sebenarnya, orang memberikan julukan Belanda Depok kepada kami sebagai penduduk asli Depok. Perilaku mereka seperti orang Belanda karena didikan Belanda. Sebelum pribumi mengenal bangku pendidikan, kami sudah sekolah. Tak heran, sewaktu revolusi 1945 warga Depok banyak yang tewas dibunuh pejuang karena dianggap antek Belanda. Mereka berpuluh-puluh tahun hidup mendapat keistimewaan Belanda,”

Marga Belanda pemberian Chastelein rupanya bukan satu-satunya pemicu kecemburuan sosial. Jamruh, sesepuh masyarakat Betawi di Depok, menambahkan, ini juga karena mereka kurang berbaur dengan warga sekitar. “Mereka dan anak cucunya yang 12 itu sampai sekarang sehari-hari menggunakan Bahasa Belanda. Di sekolah yang dulunya diharuskan berbahasa Indonesia mereka tidak mau dan tetap memakai Bahasa Belanda. Adat istiadat mereka pun seperti orang Belanda. Menolak dipanggil bapak, maunya oom atau meneer, yang perempuan tante,” jelasnya.

Kecemburuan ini memuncak di tahun 1950-an. Ratusan rumah orang Belanda Depok, yang kini menjadi Stasiun Depok Lama, habis dibakar warga sekitar.